Berbicara tentang peradaban, tentunya kita berbicara tentang
perputaran waktu. Sejauh manakah kita melek terhadap peradaban.
Sebelum kita berguru, mulanya kita tahu bagaimana rasanya melek kepada
satu tema ini yaitu peradaban. Setelah kita mencoba untuk melek
terhadap jejak jejak sejarah yang membawa sepasang kaki kita di sebuah
peradaban, barulah kita tahu pelajaran apakah yang akan kita reguk
bersama dari setiap suguhan peradaban.
"Setiap jengkal dari muka bumi ini adalah sejarah" pastinya menjadi
ungkapan yang sangat apik untuk dimuseumkan di ingatan. Rasulullah SAW
telah menggebrak dunia dengan peradaban yang diretasnya. Bahkan
menjadi kisah yang tak usai-usainya diceritakan masyarakat dunia.
Cerita yang tak bosan didengar murid dari seorang guru di bangku
sekolah. Riwayat yang tak habis dibahas oleh sejarawan muslim maupun
non muslim. Politik, ekonomi, sosialitas sang Nabi yang tak tergeser
dari referensi yang dijadikan rujukan bagi umat muslim seantero raya.
Begitu juga dengan sahabat-sahabat beliau yang selalu menarik untuk
didengarkan kisahnya. Pertanyaannya, sudahkah kita melek terhadap
peradaban beliau? Peradaban keemasan di bawah tahta Muhammad
habibullah SAW. Maka pantaslah ini menjadi PR pertama bagi kita untuk
terus mempelajari sirahnya. Penasaran bukan???
Dari peradaban Muhammad, kita melaju mundur sebentar ke peradaban
jahili bangsa Arab. Memutar waktu perputaran zaman. Peradaban unik
yang masih lezat di santap bagi para pecinta ilmu. Peradaban jahili
sendiri memiliki rentang waktu yang sangat panjang sebelum zaman
kerasulan Muhammad SAW. Memiliki karakteristik yang unik dan
bermacam-macam yang mungkin dapat kita baca di buku-buku sejarah
peradaban seperti Tarikh adab jahili, Mu'allaqot Sab', dan kitab-kitab
para tokoh sejarawan muslim kontemporer yaitu Dr. Toha Husein, seorang
Doctor yang menyelesaikan studinya S1 di Universitas Al-Azhar Cairo
dan menuntaskan S2 dan S3 di Sorbonne, Paris dan Dr. Muhammad Abbas
'Aqod. Karya-karya tokoh ini banyak memberikan sumbangan referensi
kepada dunia sejarah. Maka karna terlalu banyaknya ranum-ranum sejarah
peradaban yang disajikan untuk kita, maka di sini saya akan mengutip
kisah salah satu penyair jahili yang termasuk bagian Mu'allaqot Sab',
7 Penyair jahili yang syairnya di tempel di dinding ka'bah. Dan salah
satunya adalah Zuhair Ibn Abi Sulma yang bait-bait syairnya sangat
mempesona, diksinya yang menggoda para pecinta dunia sastra. Banyak
sekali yang bisa kita ambil dari kehidupan dan syair-syair Zuhair,
kisah cintanya yang romantis, Odenya yang menggelora untuk para
pejuang dan Mutiara hikmah yang uslubnya masih dipelajari hingga
sekarang.
"Perkataan seseorang itu bagian dari hatinya, maka jika ia tidak
menggunakan hatinya, tidaklah berharga hidupnya" salah satu bait syair
yang eksotis dari Zuhair Ibn Abi Sulma. Di sini saya akan mencoba
mengajak kita semua berpetualang dengan penyair nyentrik ini. Zuhair,
seorang yang membuat bait-bait syair pujian untuk dua orang pemuda
yang mencetuskan perdamaian pada zamannya. Ia menghiasi syairnya untuk
memuji kehebatan dua orang pemuda yang mampu mendamaikan perseteruan 2
suku, Bani Gobro' dengan Bani Dahis. Dikisahkan perseteruan ini sudah
ada sejak ia kecil, tak jarang mereka melakukan peperangan dahsyat,
pertumpahan darah dan sebagainya. Namun tiba-tiba perseteruan itu
sembuh dan mereka hidup dalam payung perdamaian. Yang membuat unik
cerita ini, dua orang pemuda yang bernama Harom dan Haris datang dan
menawarkan perdamaian antara kedua suku tersebut dengan sesuatu yang
tak lazim. Apakah itu? Harom dan Haris memberikan 1000 ekor unta
terbaik di zaman itu untuk kedua suku tersebut asalkan mereka mau
berdamai. Dikisahkan dua pemuda ini tertekan hidup dalam perseteruan
dua suka tetangga dan mencita-citakan perdamaian. Hingga lahirlah
idenya yang mencengangkan. Bani Gobro' dan Bani Dahis menyetujui
persyaratan kemudian mereka berdamai. Cerita selesai, lalu apa yang
unik? Lalu pelajaran apa yang dapat kita teguk?
Begitu indahnya sikap yang diambil seseorang ketika mereka hidup di
kalangan permusuhan, ia berani mengambil keputusan untuk berusaha
mendamaikan. Bayangkan, seribu unta mereka hargai untuk sebuah
perdamaian. Bila kita tarik ke peradaban modern, peradaban kita ini.
Adakah orang yang rela membayar harga perdamaian. Tak banyak dari kita
mengedepankan emosional dan ego masing-masing. Membela sana, membela
sini. Mencari yang benar, menuding yang salah. Bahkan kita sering
dengan lantang menjatuhkan mereka yang salah. dari kisah yang
diabadikan Zuhair Ibn Abi Sulma, dapat kita jadikan PR untuk diri kita
masing-masing bahwa perdamaian mendapatkan tempat di mata dan hati
kita, tidaklah mencari pihak yang benar kemudian menjatuhkan lainnya,
bila kita bisa merangkul keduanya alangkah syahdunya hidup bukan?
bukankah kita berada dalam satu naungan Islam? Dan Islam adalah agama
perdamaian. Ini beda kasus dengan musuh islam yang terus memerangi dan
menyeterui islam, mereka pantas untuk diperangi. Perdamaian yang
dimaksud adalah Representasi dari Islam yang Rahmatan lil 'Alamin.
Peradaban yang dibawa Rasulullah SAW tak kurang mengajari kita untuk
berdamai dengan siapapun, sekalipun itu orang kafir yang hidup di
wilayah muslim. Indah bukan jika kita hidup menjadi lentera diantara
lilin-lilin yang menyala. Kita tetap bersinar dengan cahaya islam yang
tak meredupkan cahaya lain.
Tentunya kalian yang pernah membaca novelnya "99 Cahaya di Langit
Eropa" yang telah membumi dari penulis kenamaan Hanum Salsabiela Rais
dan suaminya Rangga Mahendra. Mengabadikan kisah kebaikan Aisye Pasha
dan Fatma Pasha yang tetap tersenyum lebar kepada kejahatan Bangsa
Eropa terhadap Turki, Negeri kelahirannya. Kejahatan Bangsa Romawi
kepada Turki sehingga menimbulkan ekspansi Kara Mustafa Pasha.
Saya rasa ini sudah menjadi petualangan yang seru dan pas untuk kita
saat ini. Mereguk nikmatnya anggur perdamaian dan keharmonisan hidup.
Tak pernah lelah menebar benih kebaikan diantara manusia. Apakah
disini saja peradaban memberi kita pelajaran? Tidak, masih banyak
warisan peradaban yang siap untuk dipetik ranumnya. Ia tak hanya
menyajikan kisah-kisah yang unik tapi juga menghadiahkan pelajaran
yang bisa kita lukiskan dalam peradaban kita saat ini. Selamat
berpetualang di putaran peradaban lainnya
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat dan memberi energy positif
bagi penulis dan pembacanya. Tulisan ini ditulis tidak untuk menyindir
siapapun melainkan menyindir diri sendiri yang belum mampu
merepresentasikan diri sebagai muslim sejati. Maka lewat ini, mari
kita sama-sama belajar menjadi agen muslim yang menggetarkan peradaban
islam khususnya dan dunia. Terima kasih dan sampai jumpa di coretan
berikutnya.


Penulis:
Siti Qomariyah
(Mahasiswi Universitas Al-Azhar Cairo Mesir)

Post a Comment