Hembusan terdengar merdu di hidung mancung gadis manis berambut panjang yang tengah menunggu seseorang yang lama ia nanti. Dua tahun lamanya penantian yang ia tunggu berakhir dengan sebuah senyuman manis di bibirnya. Debaran terdengar merdu bersamaan dengan kupu-kupu yang siap keluar dari perutnya. Deretan giginya terlihat berjejer rapi melihat sosok jangkung tengah berdiri tegap di ambang pintu masuk cafe. 

Tangan gadis itu ia lambaikan ke atas agar sang pria mengetahui keberadaannya. Alfa, nama pria itu. Pria itu tersenyum dan mendekati Riska, sosok gadis yang sangat ia cintai dua tahun yang lalu tentu sekarang pun masih sama, pria itu masih mencintainya. 

Duduk berhadapan tanpa ada rasa canggung di keduanya. Masalah mereka seolah menjadi abu tanpa bekas karena terbang bersama angin. Sang pelayan mendekati mereka dengan membawa pesanan yang sudah gadis itu pesan sebelum Alfan memintanya. Satu buah jus storbery milk dan satu cangkir kopi pahit sudah berjejer manis di depan sang pemiliknya. Alfa tersenyum hangat melihat secangkir kopi kesukaannya berada di depannya. Dengan segera ia mengambil pegangan cangkir dan meminumnya sedikit. Sedangkan Riska ia menyeruput jus yang ia pesan.

“Kau masih sama.” Riska menghentikan aktifitasnya dan menatap Alfa dalam. Tersenyum sebagai jawaban atas apa yang pria itu lontarkan. Kembali terdiam tanpa alasan. 

“Ada yang ingin aku katakan padamu.” Alfa menatap Riska detik berikutnya. Entah kenapa keringat dingin memenuhi peluh pria itu ketika gadis yang pernah singgah di hatinya mengeluarkan sebuah  map berwarna coklat. Pria itu tahu betul apa yang dimaksud Riska. Gadis itu menginginkan sesutau darinya.
“Kau tidak lupa dengan surat ini kan?” Pertanyaan yang sama dua tahun silam gadis itu lontarkan. Pria bermata sipit itu tersenyum canggung dan sedikit mengangguk paham.

Dua tahun yang lalu memang kesalahan Alfa yang sudah dengan teganya meninggalkan gadis yang sangat tulus mencintainya, beralih pada cinta yang lain. Ironis memang tapi itu memang takdir bagi keduanya. Takdir pria itu yang menyakiti gadis belia yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Wajah manis Riska yang awalnya selalu tersenyum berubah menjadi gadis pemurung, tapi ketika Alfa datang padanya dan memberikan surat perjanjian tentang dirinya membuat gadis itu kembali bersemangat untuk menjalani hidupnya. 

“Kau lupa?’ ulang Riska memastikan.

Gelengan kepala sebagai sebuah jawaban dari pertanyaan gadis itu. Riska tersenyum miring melihatnya. Tahu betul jika Alfa tidak ingin mengungkit tentang surat perjanjian yang telah mereka buat, tapi ini kesempatan bagi Riska untuk kembali seperti semula. Kembali menjadi sosok yang ceria dan selalu bahagia, tentunya tanpa beban. 

Kertas putih berisi dua lembar sudah siap melahap pria itu hidup-hidup. Air liur terdengar menggelikan bagi telinga Riska ketika pria itu menelannya pelan-pelan. Senyum licik kembali terlihat di mimik wajah Riska yang siap merebut semua kebahagiaan yang Alfa ciptakan dan yang sudah tega pria itu menghancurkan rasa kepercayaan diri gadis itu ketika ia masih belia.

“Maafkan aku.” Hanya ucapan maaf yang bisa Alfa berikan pada Riska. Tidak ada jawaban dari Riska, gadis itu tetap kukuh dengan apa yang sudah ia sepakati dengan Alfa sebelum mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan percintaan mereka dua tahun yang lalu. 

“Ri, aku minta maaf.” 

Kali ini Riska menatap Alfa dengan tatapan tajamnya. Dirinya henda melampar map di wajah pria itu ketika melihat raut wajah Alfa terlihat menjengkelkan baginya. “Kau mau menghindar? Hah! Ternyata kau sangat mengecut.” Tak ada balasan dari perlakuan Riska padanya. Alfa hanya diam dan menunduk, menahan nafasnya panjang dan berakhir dengan anggukkan lemas.
“Apa kau terpaksa melakukannya.”

“Tidak.” Jawab Alfa cepat.
“Lalu kenapa kau...?”
“Aku kenapa?” Balas Alfa membulatkan matanya kesal.
Dengusan terdengar di bibir Riska melihat rekasi Alfa yang masih sama seperti dua tahun yang lalu. Melipat tangannya di dada, menyilangkan kaki kanan yang berada di atas. Alfa semakin mengeluarakn emosinya melihat senyum mengejek dari wajah Riska. 

“Kau takut?”
“Tidak!” bentak Alfa.
“Kau takut Tuan, aku yakin itu.”
Alfa memejamkan matanya sejenak agar emosinya sedikit berangsur menurun. “Aku bilang tidak Nyonya.” Jawaban Alfa membuat Riska tersenyum kecu. Tidak bisa membendung rasa kesalnya pada Riska dengan terpaksa Alfa kembali mengambil kertas putih yang berisikan tulisan tangan dirinya dengan Riska. 

Terlihat rapi dan memusingkan bagi Alfa pribadi. Entah kenaa ingatannya kembali berputar pada kejadian dua tahun yang lalu. Meninggalkan Riska dengan keadaan yang kacau lalu kembali pada gadis itu membawa sebuah harapan palsu yang sangat menyiksa batinnya sendiri.

“Kau ragu Tuan?” Pertanyaan yang menyulut emosi lagi, batin Alfa menjerit.
“Tidak!” jawab Alfa tegas. 

Mengambil benda panjang berwarna hitam dan membuka tutupnya. Tinta hitam yang mengkilat di ujung benda itu terlihat mengerikan bagi pria itu. Menelan susah payah air liurnya ketika tinta itu mulai menggores kertas yang berada di hadapannya. Alfa berhenti sejenak. Memikirkan konsekuensi apa saja yang akan pria itu peroleh membuat Riska sabar untuk melanjutkan rencana keduanya.
“Kenapa kau diam Tuan?” Suara Riska bagaikan petir di malam yang pekat. Angin yang masuk berada seperti pusaran tornado bagi batinnya. Langit yang cerah ini tidak ingin menjadi saksi akan tingkah dua manusia yang tengah merencakan sesuatu untuk membunuh pejabat tetinggi. 

“Apa kau dendam padaku?” 

Riska tersenyum menanggapi pertanyaan mantan kekasihnya itu, “Tidak!” gadis itu meminum jus stoberi milknya, menatap pria itu tajam. “Aku tidak berhak dendam padamu Tuan.” Jawaban gadis itu seolah menusuk kerongkongan pria itu. 

“Lalu, apa kau membenciku?” Riska kembali menatap pria itu tajam. Memalingkan wajahnya tidak ingin pria itu melihat raut wajahnya yang sangat ketara membenci pria itu. “Kau membenciku?” ulang pria itu untuk memastikan jika Riska tidak membencinya. 

“Untuk apa aku membencimu Tuan.” Balas Riska merasa malas dengan sikap Alfa yang sangat menyebalkan baginya. Gadis itu menatap kertas yang masih kosong belum tersentuh oleh tinta hitam Alfa. “Kau harus mendatanganinya Tuan.”

Alfa menghembuskan nafasnya pasrah atas prilaku Riska padanya. Tentu tidak salah bagi Riska bersikap demikian karena Alfa dengan teganya menyakiti hati tulus gadis sepertinya. Tapi Tuhan berkehendak lain, jujur saja jika Alfa bisa memilih dirinya juga akan selalu bersama dengan gadis yang sangat ia cintai tapi sekali lagi takdir berkata lain, dia dan Riska tidak mungkin menjalin sebuah hubungan yang intim seperti dua tahun yang lalu. 

Tinta hitam menggores kertas itu dengan apiknya, senyum miris terlihat

Post a Comment